Nama : Fakhrizan Darma Admaja
NPM : 23213189
Kelas : 2EB26
Universitas Gunadarma
EKONOMI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN REALITAS
PENDAHULUAN
Peranan
hukum dalam pembangunan ekonomi di Indonesia sangatlah penting. Dengan adanya
hukum tersebut membuat pembangunan menjadi teratur dan terarah. Tetapi dalam
kenyataanya hukum yang adil secara harfiah tidak dapat dilaksanakan dengan baik
di Indonesia, karena masih adanya penguasa yang mementingkan kepentingan
pribadi dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Sungguh tindakan
seperti ini sangat disayangkan, karena perbuatannya bukan hanya merugikan satu
orang melainkan seluruh warga negaranya.
Kondisi ekonomi Indonesia sendiri, masih jauh dari cita-cita bangsa seperti
yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 yakni untuk mewujudkan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia. Seperti kondisi ekonomi yang terjadi belakangan ini, kenaikan
harga bbm yang disertai dengan kenaikan harga barang membuat kaum masyarakat
ekonomii menegah kebawah sangat tercekik dengan kondisi yang ekonomi yang tidak
stabil ini. Kemudian nilai tukar rupiah yang sempat melemah, serta adanya
tindakan percobaan intervensi terhadap hukum di Indonesia dari Negara lain
karena kasus narkoba. Jika saja hukum suatu bangsa dapat berjalan efektif, maka
kedaulatan hokum Negara serta pembangunan ekonomi pun akan mudah dilaksanakan.
EKONOMI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM
Seperti yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 1-5 yang mengatur tentang
pengertian perekonomian, pemanfaatan SDA, dan prinsip perekonomian nasional.
Ayat 1 : “
Perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan” .
Ayat 2 : “
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara”
Ayat 3 : “
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Ayat 4 : “
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional”
Ayat 5 : “
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam
undang-undang”
Sehingga
dapat disimpulkan, secara tegas Pasal 33 UUD 1945 melarang adanya penguasaan
sumber daya alam ditangan perorangan atau pihak-pihak tertentu. Pernyataan
dalam UUD’45 ini secara jelas dan dengan resmi menetapkan bahwa pembangunan
ekonomi harus demi untuk kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain monopoli,
oligopolimaupun praktek kartel dalam bidang pengelolaan sumber daya alam
dianggap bertentangan dengan prinsip Pasal 33 UUD 1945.
EKONOMI DALAM REALITAS
Terpuruk di
tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami masa dimana titik kestabilan ekonomi
Indonesia mencapai titik terendah. Krisis moneter yang menghantam hampir di
semua negara asia pasifik menyebabkan kestabilan ekonomi dunia sedikit
terganggu. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami dampak sangat
parah pada bidang ekonominya.
Pertumbuhan ekonomi selama satu dasawarsa terakhir ternyata hanya menyisakan ketimpangan ekonomi yang begitu tajam. Fundamental ekonomi Indonesia dinilainya makin rapuh. Sehingga pada akhir pemerintahan SBY basis ekonomi yang berorientasi pada broad-based economy yang memprioritaskan pada komoditas ekspor ternyata tidak mampu memberikan surplus ekonomi.
Dengan lahirnya globalisme, Indonesia dipaksa untuk terjun ke dalam perdagangan bebas akibatnya pasar tradisional pun terancam dikarenakan banyaknya perusahaan asing yang mendirikan swalayan-swalayan ternama sehingga masyarakat lebih tertarik untuk pergi ke swalayan tersebut dibandingan pasar tradisional yang sudah ada sekian lamanya.
Tetapi bukan Indonesia namanya jika tidak ada ketimpangan sosial karena hasil dari sistem ekonomi yang bobrok. Lihat bagaimana sistem yang dipakai sekarang, kalau dulu kita dikenalkan dalam sejarah bahwa Indonesia dalam melakukan perdagangan melakukan barter, namun sekarang, semua itu tergantikan oleh sistem perdagangan yang menjual negara demi uang.
Pertumbuhan ekonomi selama satu dasawarsa terakhir ternyata hanya menyisakan ketimpangan ekonomi yang begitu tajam. Fundamental ekonomi Indonesia dinilainya makin rapuh. Sehingga pada akhir pemerintahan SBY basis ekonomi yang berorientasi pada broad-based economy yang memprioritaskan pada komoditas ekspor ternyata tidak mampu memberikan surplus ekonomi.
Dengan lahirnya globalisme, Indonesia dipaksa untuk terjun ke dalam perdagangan bebas akibatnya pasar tradisional pun terancam dikarenakan banyaknya perusahaan asing yang mendirikan swalayan-swalayan ternama sehingga masyarakat lebih tertarik untuk pergi ke swalayan tersebut dibandingan pasar tradisional yang sudah ada sekian lamanya.
Tetapi bukan Indonesia namanya jika tidak ada ketimpangan sosial karena hasil dari sistem ekonomi yang bobrok. Lihat bagaimana sistem yang dipakai sekarang, kalau dulu kita dikenalkan dalam sejarah bahwa Indonesia dalam melakukan perdagangan melakukan barter, namun sekarang, semua itu tergantikan oleh sistem perdagangan yang menjual negara demi uang.
2010 menjadi
tahun yang penting bagi Indonesia. Terpilihnya presiden baru, menandakan era
baru dalam pemerintahan Indonesia. Keberhasilan Indonesia lepas dari jeratan
krisis financial global, hingga mampu menjadi satu dari dua negara Asia yang
mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif di tahun 2009, membangkitkan optimisme
di awal tahun 2010. Optimisme perekonomian ini yang sepatutnya dipertahankan
oleh pemerintahan SBY dan menjadi landasan pembangunan di tahun 2010.
Secara umum,
perekonomian Indonesia pada tahun 2010 menunjukkan prestasi yang cukup baik.
Sebagai negara yang mampu mencapai pertumbuhan positif selama masa krisis
finansial global, Indonesia semakin mendapat kepercayaan di mata dunia
Internasional. Hal ini terbukti dari meningkatnya peringkat Indonesia pada
Global Competitiveness Index 2010-2011 yang dikeluarkan oleh World Economic
Forum. Indonesia berhasil meraih peringkat 44, naik 10 peringkat dibandingkan
pada tahun 2009. Peringkat layak investasi Indonesia menurut S&P juga
mengalami peningkatan dari BB menjadi BBB. Kenaikan peringkat layak investasi
ini menunjukkan semakin dipercayanya pasar modal Indonesia di mata global.
Indikator
makroekonomi Indonesia selama tahun 2010 menunjukkan adanya perbaikan
perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berhasil melaju pada
tingkat 6,1%, sedangkan tingkat inflasi hingga November berhasil ditahan pada
level 6,33% (yoy). Hal ini didukung oleh rendahnya tingkat suku bunga BI yang
dipertahankan pada level 6,5%. Rendahnya tingkat suku bunga acuan ini menyebabkan
sektor kredit mengalami peningkatan tajam sehingga sukses memompa pertumbuhan
ekonomi. Hal ini terlihat dari meningkatnya pertumbuhan kredit yang hingga
bulan oktober mencapai 19,3% (yoy).
Indonesia
juga mengambil keuntungan dari krisis ekonomi yang dialami oleh negara-negara
uni eropa. Krisis tersebut menyebabkan adanya perpindahan aliran dana ke
emerging market seperti Indonesia. Menurut data World Bank, total dana global
yang hijrah ke emerging market hingga bulan oktober mencapai US$ 403 Miliar. Wajar
apabila, ada sebagian dari dana global tersebut (US$ 15,7 miliar pada tiga
triwulan pertama) yang mampir membanjiri pasar modal Indonesia. Banjir bandang
dana global ini sukses mendongkrang IHSG mencapai di atas 3700. Diperkirakan
akan terus meningkat pada tahun depan. Melonjaknya IHSG ini dikhawatirkan akan
menyebabkan kerentanan apabila terjadi capital flight dari dana-dana asing
tersebut. Kekhwatiran ini coba di atasi oleh pemerintah dengan terus
mengkokohkan cadangan devisa. Hingga akhir November, cadangan devisa Indonesia
sukses menembus angka US$ 92,759 Miliar atau sebesar 6,96 bulan impor dan
pembayaran ULN pemerintah (BI, 2010). Dengan besarnya cadangan devisa yang
dipunya oleh Indonesia, nampaknya perekonomian Indonesia masih akan stabil hingga
tahun depan.
Menurut
Gareth Leather pengamat ekonomi untuk kawasan Asia dari Capital
Ekonomics, investasi hanya tumbuh 4,0 persen pada kuartal ke tiga 2014, turun
disbanding kuartal sebelumnya yang tercatat 5,0 persen, dan dari rata-rata
investasi yang tumbuh 8,5 persen dalam satu decade terakhir. Lingkungan bisnis
yang tidak pasti telah membuat investor asing maupun domestik mundur. Bukan
hanya itu, tingginya suku bunga juga menjadi factor investasi menjadi mandek.
Dinamika
Politik Hukum Islam di Indonesia
Peralihan
kekuasaan dan pemerintahan Orde Lama kepada Orde Baru ditandai dengan turunnya
Soekarno dan kursi kepresidenan pasca kudeta G30/S/PKI pada tahun 1965. Peristiwa
politik tersebut telah berimplikasi kepada munculnya krisis politik yang cukup
menegangkan berupa gerakan massa yang menuntut pembubaran PKI serta tuntutan
pembenahan sistem politik dan pemulihan keamanan negara.
Puncaknya
terjadi pada tahun 1966, di mana pada saat itu situasi dan stabilitas dalam
negeri Indonesia semakin carut marut. Pada gilirannya Soekarno mengeluarkan
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) kepada Jenderal Soeharto yang pada
intinya berisi perintah untuk pemulihan kamanan dan ketertihan nasional,
konsolidasi semua aparat militer dan sipil, serta pelaporan atas segala tugas
dan tanggung jawab surat perintah tersebut. Proses politik dalam negeri
saat itu berjalan sangat cepat. Jenderal Soeharto secara langsung maupun tidak
langsung menjadi pemegang kendali atas setiap proses politik. Ia mengambil
langkah-langkah yang diperlukan bagi percepatan dan pemulihan kondisi sosial,
politik dan ekonomi saat itu, hingga digelarnya Sidang Umum MPRS pada bulan
Juni – Juli 1966.
Ketetapan
MPRS No, TX/MPRS/1966 menjadi landasan konstitusinal bagi Supersemar dan
sekaligus digelarnya Sidang Umum MPRS tahun 1967 berhasil melengserkan Soekarno
dan kursi kepresidenan berupa pencabutan mandat presiden oleh MPRS dalam Tap
MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Hal ini telah memuluskan jalan bagi Soeharto untuk
naik ke puncak kekuasaan yakni diangkat menjadi presiden kedua yang ditetapkan
dalam ketetapan MPRS No.XLITI/MPRS/1968. Lahirnya Orde Baru yang didukung oleh
kalangan pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) yang
para anggotanya mayoritas beragama Islam. Dapat dikatakan, mereka menjadi ujung
tombak runtuhnya pemerintahan Orde Lama. Pada awal Orde Baru banyak dilakukan
perubahan terhadap kecenderungan birokrasi yang tidak bertanggungjawab yang warisan
Orde Lama. Dengan memakai format politik yang berporos pada eratnya hubungan
militer dan teknokrat untuk tujuan melaksanakan pembangunan dan mewujudkan
pemerintah yang stabil dan kuat. Kekuatan militer dan birokrasi merupakan mesin
politik untuk menata kehidupan sosial dan politik masyarakat, sehingga Orde
Baru melalui dua komponen tersebut menjadi kekuatan politik tunggal di
Indonesia
Adapun format
politik yang tercipta antara lain: Pertama, peranan birokrasi sangat kuat
karena dijalankan oleh militer setelah ambruknya demokrasi terpimpin, sehingga
ia menjadi satu-satunya pemain utama di pentas politik nasional. Kedua, upaya
membangun sebuah kekuatan organisasi sosial politik sebagai perpanjangan tangan
ABRI dan pemerintah dalam wujud lahirnya Golkar sebagai mayoritas tunggal
organisasi politik di masa Orde Baru. Ketiga, penjinakan radikalisme dalam
politik melalui proses depolitisasi massa, seperti menerapkan konsep floating
mass dan NKK/BKK di lingkungan pendidikan tinggi. Keempat, lebih menekankan
pendekatan keamanan (Security Approach) dan pendekatan kesejahteraan (Welfare
Approuch) dalam pembagunan sosial politik; Kelima, menggalang dukungan
masyarakat melalui organisasi-organisasi sosial dan kemasyarakatan yang
berbasis korporatis.
Persentuhan
Islam dan politik pada masa Orde Baru sesungguhnya telah diawali sejak Orde
Baru menerapkan kebijakan modernisasi, di mana stigma perkembangan pola pikir
dan cara pandang bangsa Indonesia serta proses transformasi kultural dan
perubahan sosial lebih banyak mengadopsi apa yang pernah terjadi di
negara-negara Barat. Kiblat pembangunan di Indonesia yang sebelumnya mengarah
ke Eropa Timur berbalik arah ke Eropa Barat dan Amenka. Banyak didapatkan
kalangan cendekiawan dan kalangan intelektual mulai akrab dengan
pemikiran-pemikiran Barat.
Sementara
itu, bagi kalangan Islam modernisasi ibarat dilema karena dihadapkan kepada dua
pilihan, yakni apabila mendukung modernisasi ala Orde Baru berarti sama saja
mendukung Barat, sedangkan pada sisi lain, apabila menolak berarti umat Islam
akan kehilangan kesempatan untuk berperan aktif dalam program pembangunan
nasional. Sikap pro-kontra di kalangan mayoritas umat Islam dalam menanggapi
modernisasi melahirkan tiga pola berikut: Pertama, pola apologi, yakni suatu
bentuk sikap penolakan kalangan Islam terhadap segala nilai-nilai yang berakar
pada wacana modernisasi. Bahkan pola pertama ini berasumsi bahwa modernisasi
identik dengan westernisasi dan sekularisasi; Kedua, pola adaptif, yakni suatu
bentuk sikap menerima sebagian nilai-nilai modernisasi yang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam; Ketiga, pola kreatif, yakni suatu bentuk sikap dialogis
yang lebih mengutamakan pendekatan intelektual dalam menanggapi modernisasi.
Dan ketiga pola tersebut, tampaknya pola ketiga menjadi lebih dominan karena
pendekatan intelektual yang dikembangkan oleh kalangan modernis dipandang lebih
representatif untuk membangun tatanan Islam modern di Indonesia. Hal ini
terjadi sebagai antitesa dari kalangan Islam konservatif yang lebih mengarah
kepada upaya ideologisasi dan depolitisasi Islam secara formal yang
mengakibatkan lahirnnya ketegangan dengan rezim Orde Baru.
Pola
pertautan politik yang serba provokatif dianggap bukan jalan terbaik bagi
islamisasi di Indonesia, mengingat penduduk Indonesia tidak seluruhnya umat
Islam yang dapat disatukan dalam bingkai sistem politik keormasan. Pada gilirannya,
lahirlah gagasan Islam kultural sebagai jalan tengah bagi umat Islam untuk
tetap memainkan perannya daam pentas politik nasional Paling tidak, kebenaran
akan pendekatan ini mulai membuahkan hasil berupa terbukanya jalan bagi umat
Islam menuju islamisasi politik Orde Baru di penghujung tahun 1970-an.
Kebijakan-kebijakan
politik Orde Baru yang menempatkan Islam dalam posisi marjinal di pentas
politik nasional pada gilirannya telah melahirkan berbagai ketegangan antara
Islam dan negara. Sejarah telah mencatat hahwa dinamika hubungan Islam dan
negara pada masa Orde Baru mengalami pergeseran yang bersifat antagonistik,
resiprokal kritis sampai akomodatif. Hubungan antagonistik (1966-1981)
mencerminkan pola hubungan yang hegemonik antara Islam dengan pemerintah Orde
Baru. Keadaan negara yang kuat memainkan pengaruh ideologi politik sampai ke
tingkat masyarakat bawah telah berlawanan dengan sikap reaktif kalangan Islam
sehingga melahirkan konflik ideologi dan sekaligus menempatkan Islam sebagai
oposisi. Kemudian pada tahap hubungan resiprokal kritis (1982- 1985) kaum
santri berupaya merefleksikan kembali cara pandang mereka dan merubah dirinya
untuk menampilkan sisi intelektualitas dalam percaturan politik Indonesia. Pada
tahap ini pilihan-pilihan rasional-pragmatis telah melahirkan saling pengertian
akan kepentingan Islam dan pemerintahan Orde Baru. Dalam kurun waktu 1982-1985
sebagian kalangan Islam mulai menerima asas tunggal dalam landasan ideologi
negara serta ormas dan orpol. Sedangkan hubungan akomodatif (1985-2000)
hubungan Islam dan negara terasa lebih harmonis di mana umat Islam telah masuk
sebagai bagian dan sistem politik elit dan birokrasi, Pola hubungan akomodatif
ini sangat terasa berupa tersalurkannya aspirasi umat Islam untuk membangun tatanan
sosial, politik, ekonomi dan budaya yang berakar pada nilai-nilai luhur agama
(Islam) serta budaya bangsa yang dibingkai dalam falsafah integralistik
Pancasila dan UUD 1945.
Tersendat-sendatnya
aspirasi umat Islam di dalam mendapatkan hak-hak perundang-undangan dan hukum
tampak ketika dilegislasikannya UU No.1/1974 tentang Perkawinan yang kemudian
disusul dengan PP No.9/1975. Selanjutnya ditetapkan pula ketentuan tentang
Wakaf dalam PP No.28/1977. Tidak berhenti sampai di situ, umat Islam di tingkat
legislatif kembali mempersoalkan faham/aliran kepercayaan dalam UUD 1945
sebagai agama resmi yang diakui negara. Dan yang paling krusial adalah kehendak
umat Islam untuk dilegislasikannya Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama
(RUUPA) bagi penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.
Pada pola
hubungan resiprokal kritis, umat Islam menyadari perlunya strategi untuk
menempuh jalur struktural-birokrat pada sistem kenegaraan. Pada tahapan ini,
kalangan cendekiawan dan politisi Islam harus berani bersentuhan langsung
dengan pemerintahan Orde Baru. Melalui pendekatan strukturai-fungsional, umat
Islam relatif mengalami kemajuan pesat berupa masuknya kalangan Islam dalam
segala sistem pemerintahan sipil mulai dari pusat hingga daerah, dan sekaligus
memperkokoh kekuasaan Orde Baru dalam bingkai akumulasi sipil Islam dan
militer.
Pada pola
akomodatif, sebagai antitesa dan pola hubungan sebelumnya Islam hampir
menguasai seluruh sendi-sendi pemerintahan dan negara. Tercatat realitas sosial
politik umat Islam demikian penting memainkan peranannya di pentas nasional.
Kehadiran ICMI, 8 Desember 1990, diyakini sebagai tonggak baru menguatnya
islamisasi politik di Indonesia, dan semakin tampak ketika diakomodirnya
kepentingan syari’at Islam melalui UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama,
sekaligus menempatkan Peradilan Agama sebagai lembaga peradilan negara yang
diatur dalam UU No.14/1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman, disusul
dengan UU No.10/1998 tentang Perbankan (pengganti UU No.7/1992), UU No.38/
1999, tentang Zakat, Inpres No.1/1991.tentang Penyebarluasan KHI Artikulasi
dan partisipasi politik kalangan umat Islam demikian tampak mulai dari
pendekatan konflik, pendekatan resiprokal kritis sampai pendekatan akomodatif.
Maka dapat diasumsikan untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan politik
hanya dapat ditempuh dengan dua cara yakni secara represif (konflik) dan
akomodatif (struktural-fungsional). Paling tidak ini merupakan sebuah gambaran
terhadap model paradigma hubungan antara Islam dan negara di Indonesia. Gagasan
Transformasi Hukum Islam di Indonesia
Gagasan
transformasi hukum Islam dapat dilihat dan segi ilmu negara. Dijelaskan bahwa
bagi negara yang menganut teori kedaulatan rakyat, maka rakyatlah yang menjadi
kebijakan politik tertinggi. Demikian pula negara yang berdasar atas kedaulatan
Tuhan, maka kedaulatan negara/kekuasaan (rechtstaat) dan negara yang berdasar
atas hukum (machtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum kekuasaan
negara itu sendiri
Rousseau —
misa1nya — dalam teori kedaulatan rakyatnya mengatakan bahwa tujuan negara
adalah untuk menegakkan hukum dan menjamin kebebasan dan para warga negaranya.
Pendapat Rousseau tersebut mempunyai pengertian bahwa kebebasan dalam
batas-batas perundang-undangan. Sedangkan undang-undang di sini yang berhak
membuatnya adalah rakyat itu sendiri. Atas dasar itu, Rousseau berpendapat
bahwa suatu undang-undang itu harus dibentuk oleh kehendak umum (volunte
generale), di mana seluruh rakyat secara langsung megambil bagian dalam proses
pembentukan undang-undang itu. Dalam konteks kenegaraan di Indonesia
kehendak rakyat secara umum diimplementasikan menjadi sebuah lembaga tinggi
negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Jadi, munculnya pemahaman tertulis
bahwa eksekutif membuat sebuah rancangan undang-undang sebelum ditetapkan bagi
pemberlakuannya, terlebih dahulu harus disetujui DPR.
Ketika
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945,
sebelumnya telah terjadi silang pendapat perihal ideologi yang hendak dianut
oleh Negara Indonesia. Gagasan Prof. Dr. Soepomo tentang falsafah negara integralistik
dalam sidang BPUPKI tanggal 13 Mei 1945 telah membuka wacana pluralisme
masyarakat Indonesia untuk memilih salah satu di antara tiga faham yang ia
ajukan, yaitu; (1) Faham Individualisme: 2) Faham Kolektifisme; dan (3) Faham
Integralistik. Dalam sejarah Indonesia, para politisi menghendaki faham
integralistik sebagai ideologi negara dan Pancasila dan UUD 1945 kemudian
disepakati sebagai landasan idiil dan landasan struktural Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Implikasiya secara hukum setiap bentuk perundang-undangan
diharuskan lebih inklusif dan harus mengakomodasikan kepentingan umum
masyarakat Indonesia. Inilah yang pada gilirannya akan melahirkan konflik
ideologis antara Islam dan negara
Undang-undang
dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan yang tertinggi, di dalamnya
telah dapat dicantumkan adanya sanksi dan sekaligus dapat langsung berlaku dan
mengikat masyarakat secara umum. Istilah undang-undang dalam anti formil dan
materil merupakan terjemahan dan wet in formelezindan wet in
materielezin yang dikenal Belanda. Di Belanda undang-undang dalam anti
formil (wet in formelezin) merupakan keputusan yang dibuat oleh Regering
dan Staten Generaal bersama-sama (gejamenlijk) terlepas apakah isinya
peraturan (regeling) atau penetapan (beschikking). Ini dilihat dari segi
pembentukannya atau siapa yang membentuknya.
Sedangkan
undang-undang dalam arti materil (wet in materielezin) adalah setiap keputusan
yang mengikat umum (algemeen verbidende voorschnften), baik yang dibuat oleh
lembaga tinggi Regering dan Staten Generaal bersama-sama,
maupun oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah seperti Regering Kroon,Minister, Provinde dan Garneente yang
masing-masing membentuk Algemene Maatre gel van Bestuur, Ministeriele
Verordening, Pro vinciale Wetten, Gemeeteljkewetten, serta
peraturan-peraturan lainnya yang mengikat umum (Aloemeeri Verbiridende
Voorschnfteri). Jika pengertian wet diidentikan dengan Presiden
dan DPR, baik secara formil maupun materil kurang tepat. Di Indonesia hanya
dikenal istilah undang-undang saja yang diidentikan dengan wet. Dengan
kata lain, undang-undang di Indonesia yang ditetapkan oleh presiden dan atas
persetujuan DPR disebut setara muatan hukumnva baik secara formil maupun
materil dan berlaku umum.
Hubungannya
dengan undang-undang pokok tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.
Berdasarkan kepada UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia. Pasal 5 ayat
(1) telah menggariskan bahwa semua undang-undang di Indonesia adalah
undang-undang pokok yang kedudukannya setara, dan berada di bawah hierarki
norma hukum dan konstitusi UUD 1945. Atas dasar itu, maka dapat dipahami bahwa
Undang-undang Dasar (UUD) jelas berbeda dengan undang-undang. Hal ini dapat
dilihat dalam sistem hukum Indonesia yang diatur dalam ketetapan MPR
No.XX/MPRS/ 1966 sebagai berikut: UUD 1945, Tap MPR, UU, Perpu, PP, Kepres,
Kepmen, Perda Tk. I, Perda Tk. II, dan seterusnya.
Di samping itu, berbagai jenis peraturan
perundang-undanan di negara Indonesia dalam suatu tata susunan hierarki
mengakibatkan pula adanya perbedaan fungsi maupun materi muatan berbagai jenis
peraturan perundang-undangan tersebut. Secara umum fungsi dan undang-undang
adalah: Pertama, menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan
dalam UUD 1945 secara tegas; Kedua, pengaturan lebih lanjut secara umum
mengenai penjelasan dalam batang tubuh UUD 1945; Ketiga, pengaturan lebih
lanjut mengenai Tap MPR; dan Keempat, pengaturan di bidang materi konstitusi.
Sedangkan materi muatan undang-undang telah diperkenalkan oleh A. Hamid
Attamimi dengan istilah het eigenaarding orderwerp der wet yang
juga digunakan oleh Thorbecke dalam Aantekening op de Grondwetyang
terjemaahannya sebagai berikut:
Grondwet
meminjam pemahaman tentang wet hanyalah dan orang/badan hukum yang
membentuknya. Grondwet membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di
negara kita harus ditetapkan dengan wetdan apa yang boleh ditetapkan
dengan cara lain. Sebagaimana halnya dengan grondwet-grondwet lainnya,Grondwet (inipun)
berdiam diri (untuk) merumuskan materi muatan yang khas bagi wet (het
eigenaarding orderwerp der wet).
Apabila
pendapat Thorbecke ini dipersamakan dengan UUD 1945, pandangan ini ada
benarnya, karena UUD 1945 ditentukan mengenai siapa yang berhak membentuk
undang-undang. Dalam pasal 5 ayat (1), yang menentukan adalah presiden memegang
kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR, dan materi muatan undang-undang
sama sekali tidak disebutkan. Kendati demikian, para ahli hukum menyebutkan
bahwa materi muatan undang-undang tidak dapat ditentukan ruang lingkup
materinya mengingat semua undang-undang adalah perwujudan aspirasi rakyat
(kedaulatan rakyat). Atas dasar itu, sesungguhnya semua materi muatan dapat
menjadi undang-undang, kecuali jika undang-undang tidak berkenan mangatur atau
menetapkannva.
Bila diteliti
lebih seksama kekhasan undang-undang dan peraturan lainnya adalah undang-undang
dibentuk dan ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Jadi. muatan
materi hukum undang-undang akan menjadi pedoman bagi peraturan-peraturan lain
di bawahnya. Adapun pedoman untuk mengetahui materi muatan undang-undang dapat
ditentukan melalui tiga pedoman, yaitu: Pertama, dari ketentuan dalam Batang
Tuhuh UUD 1945 terdapat sekitar 18 masalah (18 pasal) tentang hak-hak asasi
manusia, pembagian kekuasaan negara, dan penetapan organisasi dan alat
kelengkapan negara; Kedua, Berdasar wawasan negara berdasar atas hukum/rechtstaat) yang
dimulai dan kekuasaan absolut negara (polizeistacit), terus pembentukan negara
berdasar atas hukum yang sempit/liberal (rechtstaatsempit/liberal), berdasar
atas hukum formal (rechtstaat formal), dan negara berdasar atas hukum
material/sosial yang modern (rechtstaat material sosial); dan Ketiga,
berdasar pada wawasan pemerintahan sistem konsitusional, di mana
penyelenggaraan kekuasaan negara dan hukum serta yang lainnya harus mengacu
pada norma dasar (ground norm) dan Undang-undang Dasar. Dengan kata lain, yang
dimaksud adalah Pancasila dan UUD 1945. Dari rumusan-rumusan tersebut,
dapat diambil gambaran konseptualbahwa kodifikasi hukum Islam menjadi sebuah
undang-undang (takhrîj al-ahkâm fî al-nash al-taqnîn) diharuskan mengikuti
prosedur konstitusional dan sejalan dengan norma hukum serta cita hukum di
Indonesia. Kodifikasi dan unifikasi hukum Islam serta penyusunan rancangan
perundang-undangan yang baru diarahkan untuk terjaminnya kepastian hukum (law
enforcement) di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar